percaturan politik 2013 bag.2

Tahun 2013 adalah tahun “perpolitikan panas” karena segala tindak-tanduk percaturan politik negeri ini akan berefek secara masif pada hajat terbesar demokrasi pada 2014 dan tentunya sebagai barometer perpetaan politik Indonesia setidaknya pada 5 tahun ke depan. Berbagai spekulasi pun begitu riuhnya dilontarkan oleh awak media ke publik Indonesia, bagai menjual sup-panas di musim hujan. Berbagai analis dan/atau pengamat politik di manfaatkan betul oleh awak media untuk menyusun dugaan-dugaan percaturan  “panas” politik untuk kemudian “dijual” ke publik di seantero nusantara. Tak ayal untuk mempertajam antusiasme publik, berbagai analisis ilmiah pun di kemukakan secara “intelek”. Semua berlomba-lomba agar senantiasa up-to-date pada pecaturan “panas” ini, bahkan parahnya ada juga yang sampai rela mengorbankan ke-objektifan pemberitaan demi meraih antusiasme publik. Bagai gayung bersambut, berbagai pihak pun tak ingin ketinggalan memanfaatkan momen penting ini untuk “setidaknya” membentuk opini publik yang meninggikan kepentingan-kepentingan mereka. Sehingga tahun 2013 tak sekedar tahun politik (pencitraan, percaturan, pertarungan), tapi jauh lebih luas dari itu, lebih tepatnya ini adalah tahun “singgasana demokrasi”. Perlombaan besar untuk meraih pemenangan opini publik demokrasi yang akan mengalirkan tidak hanya “suara”, tetapi uang, ketenaraan, loyalitas, intelektualitas, dan yang terakhir yang jauh lebih penting dari semua itu adalah “kearifan berdemokrasi”.

atmosfer panas mulai terasa pada awal 2013 ini, guncangan yang menggoyang beberapa partai politik pun mulai terlihat kembali. entahlah apa yang terjadi, media berduyun-duyun menamakan ini peperangan politik. tak tanggung-tanggung guncangan ini menerpa partai-partai besar, sepintas lalu bagai pertandingan bola yang senantiasa saling serang, bertahan, menyerang lagi, bertahan, bertahan, menyerang, dan seterusnya. kisah perpolitikan dalam berdemokrasi ini pada dasarnya memberikan pembelajaran sekaligus potret publik negeri ini. meskipun yang cendrung terlihat dan termediakan adalah perpolitikan tidak sehat dengan segala efeknya, seperti korupsi, nepotisme, kolusi, konspirasi, pembalikan fakta, kampanye hitam, dll. inilah yang sungguh menghawatirkan merusak kesehatan berpolitik negeri demokrasi ini. tapi ternyata, dalam sekelumit peristiwa politik kotor ini, masih ada kisah-kisah politik bersih, adil, dan profesional yang di tunjukkan oleh para pelaku politik aktif yang minim termediakan.

tahun politik 2013 ini oleh para spekulan politik (analis, pengamat, media, tokoh, bahkan akademisi) dinamai sebagai tahun pragmatis untuk memboyong kemenangan pada pesta akbar 2014. mereka senantiasa merefleksikan segala hal sarana-sarana politik tahun ini ke arah pilpres 2014. bukanlah suatu kebetulan bila 2013 ini adalah tahunnya pemilukada di beberapa daerah, yang pada dasarnya adalah siklus rutin yang silih-berganti. namun hal rumlah ini menjadi kotak spekulasi yang panas, mengingat pemilukada di pulau jawa dan di beberapa daerah di pulau lain memiliki total pemilih yang segnifikan besarnya. sehingga dapat menjadi ajang untuk mengukur sejauh apa peta kekuatan partai politik untuk mengukur kesanggupan pemenangan pada 2014 nanti. mulai dari 2012 lalu, pemilukada tingkat 1, Banten, DKI, Jawa Barat, Sumatra Utara, dan beberapa daerah tingkat 1 & 2 lainnya. permainan-permainan indah dapat kita amati pada pergulatan pemilukada ini, serta efek internal dan eksternal yang mendinamisasinya.

hampir tidak ada peristiwa-peristiwa pendewasaan demokrasi negeri ini, yang terlepas dari prasangka-prasangka kepentingan maupun sarana perpolitikan praktis. tapi yang mesti di garis bawahi oleh publik, inilah dunia “berdemokrasi dengan sarana politik”. yang terjadi sesungguhnya bukan hanya kepragmatisan politik, tapi jelas bahwa ini adalah dinamika perpolitikan yang memang demikian adanya. kita sebagai publik pun secara definitif adalah insan politik yang tidak bisa lepas tangan begitu saja. segala informasi & peristiwa yang tergulirkan di segala ranah media yang ada, pada dasarnya adalah menu untuk menerbitkan opini. maka menjadi suatu keniscayaan, penentu pemenangan opini yang bergulir adalah kita sebagai publik itu sendiri, karena publik itu sendirilah sebagai tokoh utama dalam dunia demokrasi ini. namun sayangnya tokoh utama perpolitikan ini senantiasa kalah terbawa arus gelombang media komersil yang mungkin saja membawa kepentingan-kepentingan politik praktis yang publik tidak ketahui.